Sahabat haruskah aku larut dan hanyut terbawa kegundahan, kesedihan, dan ratap tangis orang-orang yang tidak aku kenal. Kemudian mengkritisi, menghujjah, akhirnya bersimbah air mata hingga air mataku kering dan terevaporasi sendiri.
Kadang aku berpikir, untuk apa aku melakukan semua ini? Bukannya lebih baik aku duduk bersimpuh, berdzikir, dan memelas kepada sang khaliq. Menghitung setiap ruas jari dan butir-butir tasbih dengan tasbih, tahmid, takbir, serta tahlil.
Atau lewatkan setiap waktuku dengan ruku dan sujud ratusan rakaat. Lalui malam-malam hening dengan bermunajah hingga ujung malam, dan menatap setiap lembar mushaf seperti halnya Rabi’ah Al Adawiah beribadah dan beruzlah.
Kemudian kututup telingaku dari jerit tangis anak-anak yatim, janda-janda miskin di pelantaran toko, pinggiran selokan, dan tumpukan sampah. Toh mereka bukan siapa-siapa dan juga mereka tidak memberikan kontribusi apa-apa untukku.
Walau aku tahu untuk menghilangkan rasa laparnya mereka harus berdiri di setiap perempatan, menunjukan wajah memelas dan senyum suram, lalu berkerumun di tumpukan sampah, mengais makanan bersama anjing, unggas, dan tikus. Wajah mereka penuh debu, kotor bermandikan teriknya matahari. Begitulah anak-anak negeri, tertempa kejamnya hidup hingga masa depan bagi mereka hanya didapatkan dalam tidur-tidur lapar.
Entah generasi apa yang dipersiapkan bangsa kita, dengan pendidikan jalanan yang tak ubahnya rimba belantara. Sudahlah! mari kita kubur bersama harapan masa depan yang cerah dimasa sepuluh atau lima belas tahun kedepan, kemudian dengan bangga menyandang gelar bangsa budak pekerja rendahan. Kalau memang hanya generasi ini yang tersisa.
---------------------------------------------------------------II-----------------------------------------------------------------
Sahabat apakah terpikir oleh kita mereka juga butuh pendidikan, butuh masa depan, dan butuh kesempatan. Seharusnya mereka berada di bangku-bangku sekolah untuk belajar, bermain, dan mengejar cita-cita, bukannya berkeliaran di jalanan.
Hingga kemudian aku bertemu dengan sahabat-sahabat yang juga peduli akan hal ini, lalu kami merenungi langkah kedepan dan kami pun sepakat akan membawa mereka ke pulau impian. Kami mencoba mengajak kapal-kapal besar yang ada untuk mengangkut mereka, namun sayang tak satu pun peduli.
Maka tak ada pilihan lain biduk kecil pun kami buat bermodalkan kebesaran hati, beralaskan tauhid, kemudian kayu-kayu kami susun lalu direkat dengan ukhuwah fillah, palu determenasi kami dentamkan pada sahabat yang tak mengenal batas baik usia, warna, maupun bangsa..., kami usung kemelut ini sebagai masalah umat dan bahkan biduk kecil ini telah kami luncurkan dibahari yang luas dan lepas tak kenal tepi. Biduk ini kini tengah menyauk dan mengais ikan besar dan kecil, pukatpun telah kami lemparkan, jejaring kian kami lebar-luaskan sejauh yang kami mampu.
Lalu kami berusaha seberangkan ke gugusan pulau Nusantara agar anak anak nusantara bisa kembali memegang pensilnya, menenteng tas ransel. Mengembalikan haknya sebagai insan, mengembalikan izzahnya sebagai Muslim, hingga was-was dan trauma itu terkikis pada kisi kisi hati mereka, pelan tapi pasti.
Namun perjalanan tidak semudah yang kami kira. Kendala, karang tajam serta aral yang merintang datang bertubi-tubi, namun tetap kami lalui walau beberapa kali kami hampir karam dan tenggelam. Akibatnya, satu persatu dari kami mulai berguguran, mereka pergi meninggalkan kami dengan membawa papan-papan penyusun biduk ini, hingga air pun mulai masuk memenuhi biduk kami. Sekuat tenaga kami mencoba menambal kebocoran-kebocoran yang ada walau peluh dan air mata ikut mewarnai usaha kami.
Sampai kemudian datang kapal-kapal besar mendekati biduk kecil kami, dan meminta sebagian besar dari awak kami untuk ikut dengan mereka. Akankah rekan-rekanku yang tersisa pergi kembali dengan membawa papan-papan biduk ini hingga kebocoran pun semakin parah lalu menenggelamkan biduk kecil ini. Jika itu terjadi biarlah kami yang tersisa terus mendayung biduk ini walau harus berlima, bertiga, atau pun aku seorang diri, meski akhirnya kami harus tenggelam dalam samudera angan bersama cita-cita yang kita bangun bersama.
Sahabat-sahabatku yang dirahmati Allah……
Kami sadar sahabat-sahabat adalah orang-orang pilihan yang tentunya sangat dibutuhkan dimana-mana, dan tentunya setiap jalan juang pasti baik. Namun sahabat, satu harapan kami janganlah sahabat meninggalkan biduk ini, jika sahabat merasa lelah atau tidak bisa konsentrasi dalam dua kendaraan sekaligus kami siap untuk membantu tugas sahabat. Akan tetapi, jangan telanjangi biduk ini dengan meninggalkannya yang kemudian menenggelamkan biduk impian kita bersama.
Kami tidak melarang sahabat untuk mengambil amanah lain yang sama-sama memiliki nilai positif disisi Allah. Karena sesunguhnya memegang beberapa amanah bukanlah suatu masalah malah menambah nilai kita disisi Allah dan mempermudah jalan da’wah kita. Oleh karena itu, kami mempersilahkan sahabat mengambil amanah-amanah yang di berikan namun jangan telanjangi biduk ini dengan meninggalkannya atau membandingkannya dengan kapal-kapal motor besar yang tentunya lebih nyaman dan menjanjikan.
Hanya perjuangan yang ditawarkan biduk ini, bukannya rasa nyaman atau ketenaran, karena hanya janji Allah akan taufik (pertolongan-Nya) yang menjadi penggerak biduk ini, bukan kekuatan materi apalagi dukungan kekuasaan. Biarlah Allah yang menentukan nasib biduk ini entah akan Ia tenggelamkan atau Ia mudahkan sampai tujuan, karena tugas kita hanyalah berjuang, berjuang, dan terus berjuang. Sampaikan nyata cita-cita “HIidup Mulia Hingga Mati Syahid”
NB: Inspirasi diambil dari artikel potret anak nusantara & Fenomena Gerakan Mahasiswa.Pendidikan Nasional Komisariat UPI. Semoga kami tetap solid dan mampu melewati berbagai rintangan yang ada.hingga kemenangan menjadi nyata kemudian syahid menjemput kami. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar