Prematurnya Sebuah Sistem
Masih hangat dalam ingatan, masih jelas tergaung dan masih sangat jelinya mata melihat berbagai fenomena yang terjadi dikampus kita beberapa waktu dekat ini. Fenomena penerapan sebuah system yang menjadi polemik di kalangan mahasiswa. Sebuah system birokrasi yang menurut saya terlalu dipaksakan. Sangat premature bahkan dengan kondisi objektif satu-satunya kampus yang menyandang gelar pendidikan di negeri ini. Coba kita review kembali kondisi dimana mahasiswa sangat mengecam keras terhadap berbagai penerapan system birokrasi di kampus pendidikan ini. Dari mulai penerapan pedoman akademik yang semakin diperketat salah satunya tentang SPP mahasiswa, dilanjut dengan SK Rektor Ormawa sampai pada pembenahan parkir dengan cara Parkir Berbayar di kampus UPI.
Tentu hal ini menimbulkan ketegangan dan kecaman dari mahasiswa seantero kampus ini. Dari mulai yang pro dengan aksi diam dan apatisnya, sampai pada mahasiswa yang kontra dengan membuat berbagai macam aksi dan audiensi yang dilakukan untuk menggagalkan penerapan system tersebut. Kita mulai dari SPP yang sangat menentukan kelangsungan ‘hidup’ perkuliahan mahasiswa di kampus pendidikan tercinta ini.
Berawal dari keinginan Pembantu Rektor (Purek) Bidang Akademik dan Hubungan Internasional Universitas Pendidikan Indonesia dalam pembenahan system yang ada di UPI dengan memperketat penerapan pedoman akademik mengenai registrasi mahasiswa (pada Januari 2011). Hal ini yang berujung pada ancaman drop out bagi mahasiswa yang tidak melakukan registrasi. Sayangnya, pengetatan pedoman ini sama artinya dengan mengeluarkan ribuan mahasiswa dengan sengaja yang belum melakukan registrasi, alias mahasiswa kalangan menengah kebawah dan yang tidak mampu. Karena seharusnya UPI sudah bisa melihat bahwasanya sebagian besar ‘penghuni’ kampus pendidikan ini dari kalangan mahasiswa menengah ke bawah.
Sebagai mahasiswa pendidikan yang katanya melek pendidikan, tentu hal ini menimbulkan kontra. SK ini sangat tidak sesuai dan telah menodai amanah UUD1945 –bahwa pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Diperkuat dengan Sisdiknas Pasal 5 bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Maka, tidak etis dengan itikad hanya ingin membenahi system di UPI maka harus mengorbankan sebagain besar pendidikan mahasiswa. Memang tidak ada salahnya dalam rangka pembenahan system maka akan ada sebuah penerapan baru entah memperketat untuk mendisiplinkan atau apapun itu namanya, tapi alangkah bijak ketika sebuah penerapan system itu dengan penuh pertimbangan dan solusi yang memberikan keleluasaan bagi semuanya. Tidak kemudian mengorbankan salah satu pihak sebut saja mahasiswa. Karena dengan dikeluarkannya penerapan registrasi SPP ini semakin memperpanjang daftar masalah yang sudah menjadi langganan setiap tahunnya ada di kampus pendidikan ini yaitu masalah advokasi mahasiswa yang tak mampu bayar. Miris memang. Kampus pendidikan tapi seperti tak paham akan hakikat dan esensi pendidikan itu sendiri.
Hal ini berlanjut pada ‘tragedi’ dikeluarkannya SK Rektor UPI No. 8052/H40/HK/2010 tentang Ormawa di lingkungan UPI yang dikeluarkan pada tanggal 29 Desember 2010. Hal pertama yang menjadi keganjilan adalah pengeluaraan SK ini secara sepihak dari birokrasi dan dikeluarkannya pun pada masa waktu libur pekan sunyi semester. Dari sini saja sudah menimbulkan polemik yang semakin memanas dikalangan mahasiswa, tentu tidak menerima dikeluarkannya SK tersebut alias kontra dimana-mana. Meskipun pada akhirnya secara bersamaan dan sporadis birokrasi atas sana memerintahkan setiap utusan setiap jurusan di fakultasnya masing-masing untuk mensosialisasikan SK ini pada tanggal sekitaran 18 Januari 2011.
Sungguh dengan dikeluarkannya SK ini sangat menodai eksistensi dan idealisme mahasiswa. Bukan saja mahasiswa ingin diakui eksistensinya tapi mahasiswa sebagai control social, sebagai elemen yang paling independen. Bahkan mahasiswa dengan sebutannya agent of change, dipundak merekalah nasib bangsa pun dipertaruhkan. Apakah berlebihan dengan dikeluarkannya SK Rektor tersebut sangat jelas bahwa mahasiswa akan sangat diurusi dan dikendalikan geraknya oleh birokrasi kampus? Mulai dari pasal-pasal yang menjelaskan tentang pengaturan kepengurusan, keanggotan, masa bakti sampai pada pengesahan dan pencabutan kepengurusan ormawa di lingkungan UPI. Bahkan tentang pelarangan organ ekstra kampus pun dijelaskan dengan sangat detail. Jelas sangat sangat premature. Inipun sangat bertolak belakang dengan UUD 1945 tentang kebebasan berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat yang dilindungi oleh Negara. Secara system dan hukum, tentu hal ini seharusnya dapat dilakukan penggugatan kepada Mahkamah Konstitusi.
Tidak cukup sampai disitu, kembali pada pembenahan system yang dilakukan oleh UPI baru-baru ini yaitu tentang parkir berbayar di lingkungan kampus UPI. Pengelolaan perparkiran yang dilakukan secara swakelola ini mulai disosialisasikan kepada mahasiswa dengan mengundang BEM dan para ketua UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) pada 17 Februari 2011. Tidak jelas bentuk system yang sedang diterapkan dari penerapan parkir berbayar ini. Yang pasti ini menjadi keluhan seluruh civitas akademika tak hanya kalangan mahasiswa saja. Karena tarif berlaku bagi siapa saja yang membawa kendaraan ke dalam lingkungan UPI. Tapi apakah para penetap kebijakan pun turut bayar? Tak ada yang tahu. Yang pasti dosen pun kena getahnya. Maka, untuk penerapan inipun yang paling banyak mendapat respon dari kalangan mahasiswa. Mahasiswa yang selalu melakukan aksi diam dan tak peduli pun mendadak bersuara, menyuarakan hati nuraninya. Bahwa hal ini tidak benar untuk diterapkan. Hal ini sangat memberatkan mahasiswa, karena sudah banyak biaya yang dikeluarkan untuk berkuliah “masa semua fasilitas harus bayar? Sekalian aja masuk toilet pun bayar,” begitulah celetukan protes dari banyak mahasiswa.
Penerapan aturan system ini tidak berlandaskan system yang kuat bahkan alokasi keuangan dari tarif yang diberlakukan pun menjadi bias. Dengan berdalih ingin meningkatkan keamanan dan kenyamanan di lingkungan kampus UPI maka diberlakukan tarif berbayar tapi masih saja ada aturan yang tercantum dalam salah satu pointnya yaitu “Segala bentuk kehilangan menjadi tanggungjawab pemilik kendaraan”. Ini sungguh ketidakadilan yang luar biasa. Sampai saat inipun tarif perparkiran masih menunggu surat keputusan rektor. Apakah rektor akan mengeluarkan surat keputusan dan peraturan tentang perparkiran? Dari semua system yang dikeluarkan inipun terlihat jelas bahwa birokrasi saat ini berusaha mensentralisasikan kebijakan dalam kampus. Entah apa yang sedang UPI persiapkan untuk kemajuan pendidikan bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar