Sang Petualang.....

catatan mampu menjadi sejarah, menjadi saksi dan menjadi jejak yang ditinggalkan. yang akan dibaca dan dicari semua orang

Senin, 20 Juni 2011

Kisah tentang Luka

Menghadapi orang sulit selalu merupakan masalah
Terutama jika orang sulit itu adalah diri kita sendiri
Jika kita merasa bahwa semua orang memiliki masalah dengan kita
Tidakkah kita curiga bahwa diri kita inilah masalahnya?

“Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya” (Q.S. Yusuf [12]:86)
Adapun orang-orang terluka suka mengeluh pada manusia. Padahal sembarang mengeluh itu berbahaya. Seperti kisah tentang seorang ibu yang baik di keluarga penjahit. Mari kita simak penggalan cerita berikut:
Suatu hari dia berbelanja ke pasar kota, dan dibelikannya celana panjang untuk anak lelakinya tercinta. Seusai belanja, diapun bergegas pulang. Sang anak dengan suka cita mencoba celana itu, sementara si ibu pergi ke dapur membereskan belanjaan dan mempersiapkan makan malam. Tak berpa lama, terdengar teriakan keras.
“Ibu ini gimana sih? Masak beliin aku celana kepanjangan begini?! Kan jelek banget kelihatannya!”.
“Ooh..tapi lingkar pinggangnya gimana, kebesaran ga?”
“Ya enggak. Tapi kalau kepanjangan begini aku nggak mau pakai!”
“Berapa senti lebihnya?”
“Sepuluh senti!”
Remaja tanggung belasan tahun itu sepertinya pergi keluar. Pintu depan terdengar dibanting. Sang ibu geleng-geleng kepala. Tak ingin mendengar omelan putranya lagi, dia bergegas menuju ruang kerja suaminya yang seorang penjahit. Diambilnya gunting, lalu kres..kres..kres. dipotongnya ujung bawah celana itu sesuai ukuran lebih yang disebutkan anaknya. Lalu dengan jarum dan benang, celana bahan berwarna hitam itu di-sum ujungnya. “Beres”, katanya sambil tersenyum.
Si anak lelaki pergi ke halaman samping. Disana ada kakak perempuannya yang sedang merawat kaktus-kaktus koleksinya. Di beberapa pot lain, juga ada kamboja Jepang, bonsai dari pohon serut, dan aneka bunga.
“Kok cemberut?” Tanya sang kakak sambil tersenyum. “Kenapa?”
“Ibu tuh Mbak. Masak beliin celana nggak ngerti ukuranku. Kepanjangan sepuluh senti. Jelek banget diliatnya!”
“Oh, gitu aja ngambek. Perbaiki sendiri kan bisa. Sana gih, daripada ga jelas gitu!”
“Malas ah.. mau main bola dulu ke lapangan.”
Si adik berlalu menuju garasi, sang kakak yang telah selesai merawat tanaman hiasnya segera menuju ruang dalam. Melewati ruang kerja ayahnya yang kosong, dilihatnya ada celana baru. “Oh, itu celana yanhg kepanjangan,” gumamnya. Disempatkannya memeriksa sejenak, lalu gunting pun beraksi. Kres..kres..kres. tak lupa dijahit ulangnya ujung celana itu dengan jarum dan benang yang tersedia.
Si adik kini sudah duduk di jok sepeda motor bebeknya. Dicari kunci kontak. Tidak ada. Kuncinya pasti dibawa kakak lelakinya. Ditemuinya si kakak di kamar tidur.
“Mas,” katanya sambil mengguncang bahu kakaknya. “Pinjam motor dong!”
“Mau kemana?” Tanya si kakak sambil mengucek mata.
“Main bola!”
“Jiaah..tumben anak cemen mau main bola.”
“Yah…daripada suntuk dirumah gara-gara dibeliin kepanjangan sepuluh senti!”
Kakaknya tertawa. “Siapa yang beliin?”
“Ibu”
“Ya udah buat aku aja kalau kepanjanngan”
“Enak aja. Kan bisa diperbaiki, lagian lingkar pinggangnya pas kok.”
“Tuh, kuncinya di meja.”
“OK deh..”
Si kakak menggeliat lalu bangun dari pembaringan. Tidur siangnya sudah cukup, agak sempoyongan dia bangun dan menuju kamar mandi. Sempat mampir ruang makan dan menyambar pisang goreng, dia melirik sekilas ke ruang kerja ayahnya yang terbuka. “Oh itu celana yang kepanjangan,” gumamnya. Dengan gontai dia menuju kea rah celana itu. Sambil sesekali masih menguap dan matanya masih terasa berat, diambilnya gunting dan..kres..kres..kres. dipotongnya celana itu sepuluh senti. Dijahit ulang ujungnya, dan beres. Sang kakak pergi mandi.
Si adik baru akan menyalakan motornya ketika sang ayah muncul dari pintu pagar. Agaknya pulang dari rumah tetangga.
“mau kemana?”
“main bola pak!”
“Eh…sebentar. Bapak mau pakai motornya dulu. Mau beli kancing hias untuk baju pesanan seragam TK.”
“wah…nanti ketinggalan dong sepak bolanya”
“Yaudah sana…Tapi jangan lama-lama .”
“Wah ga bisa pak, untuk menghilangkan suntuk gini harus lama main bolanya. Sampai capek.”
“Suntuk kenapa?”
“Ibu tuh masa beliin celana ukurannya kepanjangan sepuluh senti. Kan enggak enak banget dipakainya.
“Nanti biar Bapak betulin.”
“Nah, itu baru bagus.”
“Berangkat dulu ya Pak.”
“Ya..hati-hati.”
Si Bapak masuk ke ruang kerjanya. Dilihatnya celana baru yang teronggok di situ. “Oh, jadi celana barunya model selutut. Ini memang kepanjangan sepuluh senti kalau mau model selutut.” Maka, kres..kres..kres.. celana itu dipotong lagi, dan dijahit ulang. Menjelang maghrib, ketika si anak pulang terdengar teriakan membahana, “Aaaa….Celana panjangnya kok tinggal selutut!.”
***
Dalam dekapan ukhuwah, mari kita sembuhkan luka-luka kita. Apalagi jika kita merasa terluka oleh orang-orang shalih dan para insan beriman. Waspadalah. Karena luka itu bisa memicu kebencian kita pada iman dan keshalihan. Seperti yang terjadi pada ‘Abdullah bin Ubay dan orang-orang munafik.
Dalam dekapan ukhuwah, jadilah orang yang mau berubah. Mau menerima kegagalan, bersedia membahas persoalan, bisa belajar dari orang lain, dan siap melakukan sesuatu untuk untuk mengatasi masalah. Hindarkan diri dari kepengecutan dan mengeluhlah hanya pada yang mampu memberikan penyelesaian. Katakana saja, “Ya Allah, aku punya masalah besaar.” Dan sebagai variasi yang manis, terkadang ucapkan juga, “Hai masalah…aku punya Allah Yang Maha Besar!”

Dikutip dari buku Sallim A. Fillah “Dalam Dekapan Ukhuwah”

1 komentar: